Di Masa Pandemi, AHY Ingatkan Pendidikan Nasional Indonesia Harus Jadi Perhatian Khusus

Jakarta: Di tengah kondisi dunia yang terbatas akibat Pandemi Covid-19, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mengingatkan bahwa pendidikan nasional Indonesia harus tetap menjadi atensi khusus yang perlu terus dirawat dan dijaga. “Kita harus meyakinkan benar pendidikan nasional kita tetap terjaga, dari dasar, menengah dan tinggi. Hal ini membutuhkan atensi dari seluruh lapisan masyarakat,’ terang Ketum AHY saat menjadi pembicara webinar bertajuk “Quo Vadis Masa Depan Pendidikan Pasca Pandemi Covid-19?” Webinar ini diselenggarakan Departemen X Pendidikan dan Kebudayaan, Parawisata, Pemuda dan Olahraga DPP Partai Demokrat yang dikepalai Dede Yusuf Macan Effendi, Kamis (6/5) siang.

Dalam webinar ini Ketum AHY memaparkan tiga tantangan besar yang dihadapi pendidikan di Indonesia. Pertama terkait kualitas belajar mengajar. Bagi Ketum AHY, pendidikan jarak jauh yang berbasis online tidak mudah untuk segera diadaptasi oleh masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan adanya kondisi ekonomi tidak memadai yang menjadi halangan bagi para keluarga untuk bisa memberikan fokusnya secara penuh di bidang pendidikan.

“Banyak keluarga Indonesia, yang untuk makan sehari-hari dan sebelum masa pandemi saja sudah sulit, apalagi ketika ada yang harus hilang pekerjaan dan punya masalah keluarga,” ucap Ketum AHY. “Oleh karena itu, ketimpangan pendidikan harus kita waspadai bersama, jangan sampai yang pintar semakin pintar, yang tertinggal makin tertinggal jauh di belakang. Jadi bukan hanya kesenjangan pada ekonomi, tapi juga ilmu pengetahuan,” lanjut Ketum AHY.

Kesenjangan ilmu pengetahuan ini memiliki potensi besar untuk merusak “transfer of knowledge” yang dibutuhkan para pelajar. Pasalnya, para pelajar secara alamiah sudah terbiasa melakukan pembelajaran secara tatap muka, tidak dengan perangkat teknologi. Dengan transisi tersebut, Ketum AHY menegaskan bahwa peran guru/dosen dan orang tua menjadi penting untuk memastikan kondisi mental para anak-anaknya terjaga dengan baik.

Kedua, angka putus sekolah semakin banyak. “Ketika dihadapkan dengan pilihan, sekolah atau mencari penghasilan untuk keluarga, akhirnya banyak yang memilih untuk membantu keluarga. Oleh karena itu banyak anak-anak yang putus sekolah, dan berdampak pada tingkat literasi anak-anak kita,” jelasnya. Ia melanjutkan bahwa 70 persen penduduk Indonesia diharapkan menjadi bagian dari puncak bonus demografi di tahun 2030, namun melihat situasi dan kondisi saat ini, Ketum AHY mengingatkan bonus demografi bisa saja tidak tercapai, dan justru menjadi bencana demografi.

“Yang tadinya kita berharap usia produktif menjadi engine of growth, namun bahayanya jika tidak dibarengi dengan kualitas pendidikan yang memadai maka bisa menjadi bencana demografi,” tutur Ketum AHY. Lebih lagi, ia mengutip ucapan Sekjen PBB António Guterres yang memprediksi bahwa bencana pendidikan dan generasi sangatlah mungkin untuk terjadi. “Kendati kita saat ini sudah melakukan vaksinasi secara nasional, tetapi kecepatan vaksinasi ini pun tidak seperti yang kita bayangkan. Hari ini mungkin baru sekitar lima persen saja masyarakat kita yang sudah divaksin, sehingga untuk mencapai “Herd Immunity” diprediksikan membutuhkan jangka waktu selama 6 tahun,” lanjutnya.

Tantangan berikutnya adalah terbatasnya ruang interaksi dan sosialisasi antar mahasiswa. Bagi Ketum AHY, hal tersebut menjadi bahaya karena tuntutan keterampilan di abad 21 sudah semakin luas dibandingkan abad-abad sebelumnya. “Ruang interaksi yang natural adalah secara langsung/face to face. Kita juga tahu pembangunan SDM ke depan bukan dari segi kognitifnya saja” jelasnya. “Intelektual/keterampilan akademis itu hanya menjadi bagian kecil saja diantara keterampilan-keterampilan lain yang seharusnya dimiliki abad 21,” tambahnya. Critical thinking, communication, dan social skills merupakan keterampilan yang wajib dimiliki oleh masyarakat abad 21, sehingga apabila apabila hal tersebut tidak didapatkan oleh masyarakat Indonesia, maka akan berpengaruh kepada kemampuan sosial dan organisasinya.

Berangkat dari tiga tantangan tersebut, Ketum AHY berharap dialog-dialog yang dilakukan Departemen X dapat terus dilakukan dan disosialisasikan. Harapannya, dengan adanya dialog tersebut, semangat dan komitmen Partai Demokrat terhadap sektor pendidikan tidak akan pernah luntur, dan akan terus menjadi perhatian.

Webinar ini juga menghadirkan dua narasumber, yaitu Rektor IPB Arif Satria dan pengamat pendidikan Indra Charismiadji. Arif Satria menjelaskan bahwa dalam menghadapi era disrupsi ini, maka diperlukan mindset dan perilaku baru yang perlu diterapkan oleh para pelajar/dosen/orang tua dan pelaku pendidikan lainya. “Kita mau tidak mau harus bicarakan growth mindset bukan fixed mindset. Growth mindset didasari oleh kepercayaan bahwa potensinya bisa diasah dan dikembangkan, selalu optimis, memperbaiki dan mencari peluang bukan mengeluhkan masalah,” jelas Arif.

Sedangkan Dede Yusuf dalam kesempatan ini, mengingatkan bahwa sudah saat seluruh masyarakat lintas generasi menaruh perhatian terhadap transisi yang terjadi di dunia pendidikan. “Ini saatnya kita melakukan perubahan di dunia pendidikan, tidak bisa lagi bersifat konvensional namun juga harus membuat terobosan,” ujar Dede. “Besar kemungkinan bahwa ke depan para pelajar melaksanakan sekolahnya separuh di rumah, dan separuh di kantor. Kalau dibayangkan, alokasi anggaran untuk pendidikan ke depan bisa diarahkan untuk membangun prasarana digital,” terusnya.