Jakarta: Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menemui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto di Kantor Menko Polhukam, Jakarta Pusat, Jumat (22/3) siang. Kunjungan Komandan Kogasma Partai Demokrat tersebut dalam rangka menyampaikan rekomendasi jelang pemilu 2019 bulan April mendatang.

“Rekomendasi yang pertama terkait dengan bagaimana kita bisa mencegah atau paling tidak memitigasi polarisasi yang kami rasakan semakin kental di tengah-tengah masyarakat kita karena perbedaan pilihan politik,” tutur AHY

AHY menyampaikan kurangnya hal substansi mengenai pilpres yang muncul ke permukaan. “Kita mendapatkan kesan bahwa kontestasi, khususnya dalam hal pilpres, argumentasi, reasoning atau alasan memilih itu jauh dari substansi. Padahal dalam pemilu kita berharap ada kontestasi dalam hal gagasan, termasuk juga kebijakan ataupun program-program yang ditawarkan kepada rakyat lima tahun mendatang,” lanjutnya.

“Dalam prakteknya di lapangan seringkali lebih mengarah pada hal-hal yang non substansial, lagi-lagi berurusan dengan identitas dan ideologi. Ini tentunya sangat mengkhawatirkan, karena kalau diteruskan, dan ini sudah terjadi di sana-sini, terjadi perseteruan, perpecahan, persahabatan rusak hanya karena perbedaan politiknya,” AHY menerangkan.

Menurut AHY, hal semacam ini harus dicegah. “Kalau tidak kita cegah, ini bisa dituruntemurunkan ke anak cucu, dan pada akhirnya menjadi bom waktu. Kita semua akan menyesal. Harga persatuan di negeri kita terlalu mahal jika harus dirusak, karena pemilu yang sifatnya sangat temporer,” kata AHY di hadapan wartawan.

Pada kesempatan tersebut, AHY juga menyoroti partisipasi aparat dalam menjaga keamanan pemilu. Aparat diminta agar netral agar pemilu dapat terselenggara dengan baik.

“Saya memilki harapan besar, dan saya juga punya keyakinan Bapak Menko Polhukam juga telah mengeluarkan berbagai instruksi dan juga memberikan penekanan-penekanan kepada seluruh aparat yang terkait, khususnya TNI, Polri, yang diharapkan bisa menjadi benteng NKRI, berlaku sebagai institusi yang netral, parsial, sehingga masyarakat kita dapat dengan tenang menjalankan pemilihan umum. Apapun hasilnya, jika itu terselenggara dengan baik, masyarakat akan menerimanya dengan baik. Tapi sebaliknya, jika ada praktek-praktek yang tidak sesuai dengan undang undang, masyarakat juga bisa berteriak, dan ini berpotensi pada situasi yang tidak aman atau bisa merusak stabilitas politik dan keamanan di negeri kita,” jelas AHY.

Isu kedua, AHY menyampaikan bahwa masa depan sistem perpolitikan, sistem kepartaian di Indonesia perlu direview. “Kita duduk bersama sebagai bangsa, apakah ini akan terus berlanjut ke depan. Presidential Treshold 20 persen dan sistem pemilu serentak antara pilpres dan pileg, dan berbagai aspek lainnya, maka membuat ruang yang sempit sekali bagi rakyat untuk memiliki alternatif. Akibat pemilu serentak ini, hanya akan menyisakan dua partai besar yang sangat kuat dan mendominasi, sedangkan partai-partai lainnya tidak memiliki masa depan yang baik,” terangnya.

“Kita juga patut bertanya pada diri kita sendiri sebagai bangsa, apakah sistem multipartai kemudian akan berangsur hilang? Padahal kita tahu, rakyat Indonesia ataupun bangsa ini belum siap rasanya untuk menerima realitas hanya tersedia dua partai saja di negeri kita,” tutup AHY. (bcr/csa)