Kader Partai Demokrat menyambut AHY dengan semangat dan meriah seusai AHY menyampaikan orasinya di Jakarta Convention Center, Sabtu (9/6), malam.

JAKARTA CONVENTION CENTER, 9 JUNI 2018

Assalamualaikum WR. WB.

Hadirin yang saya muliakan,

Pertama-tama, marilah kita bersyukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala nikmat dan keberkahan-Nya. Sambil terus menjalankan ibadah di bulan suci Ramadhan, mari kita sejenak melakukan refleksi terhadap apa yang terjadi di negeri kita akhir-akhir ini.

Bulan lalu, kita menyaksikan sejumlah peristiwa yang cukup mengguncang negeri dan menyita perhatian internasional. Dalam situasi ekonomi yang tidak mudah, masyarakat kita dihentakkan oleh gangguan dan ancaman keamanan.

Insiden di Mako Brimob Kelapa Dua yang diikuti serangkaian bom bunuh diri di sejumlah gereja di Surabaya, serta terjadinya serangan teror terhadap aparat keamanan di beberapa wilayah adalah peringatan keras untuk kita semua.

Kita merasakan duka cita yang mendalam atas jatuhnya korban jiwa. Utamanya, mereka yang sedang beribadah. Dan mereka yang sedang menjalankan tugas. Kita juga mengutuk keras, segala bentuk aksi teror di muka bumi ini. Kita tidak boleh kalah menghadapi terorisme dan tujuan-tujuannya.

Kita kalah, apabila aksi teror itu membuat kita terpecah belah dan saling mencurigai satu sama lain. Kita juga kalah, apabila dalam upaya melawan terorisme ini kita justru terpancing untuk menggunakan cara-cara teroris. Cara-cara yang berada di luar hukum, dan melanggar hak-hak dasar warga negara.

Terrorism has no religion. Terorisme tidak punya agama. Terorisme adalah musuh semua agama. Terorisme musuh kita semua.

Kita mengapresiasi langkah-langkah yang telah dilakukan oleh pemerintah dan DPR. Baik melalui aksi penanggulangan terorisme oleh TNI/Polri di lapangan, maupun upaya legislatif melalui pengesahan Undang-Undang Anti Terorisme.

Tetapi apresiasi saja tidak cukup. Kita jangan diam!

Sebagai warga bangsa, kita patut membantu upaya pemerintah dan DPR untuk mengatasi permasalahan keamanan ini. Negeri ini milik kita semua. Bukan hanya milik mereka yang berada di pemerintahan maupun di parlemen. Artinya, kita semua punya hak dan kewajiban. Serta secara moral, turut bertanggung jawab untuk mencari solusi terhadap berbagai persoalan di negeri ini. Tidak hanya dalam isu-isu keamanan negara, tetapi juga aspek-aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara lainnya.

Saya meyakini, untuk memahami permasalahan dan aspirasi rakyat, kita semua harus sebanyak-banyaknya turun ke lapangan. Bertemu langsung, menyapa, dan mendengarkan suara rakyat. Suara yang jujur. Suara yang apa adanya. Dari hati, tanpa dimanipulasi. Malam hari ini, izinkan saya mewakili segenap kader Partai Demokrat di manapun berada untuk menyampaikan dan menggemakan suara rakyat Indonesia.

Saudara-Saudara,
Tiga hari setelah pidato politik pada Rapimnas Partai Demokrat bulan Maret yang lalu, saya langsung turun ke lapangan. Mengunjungi masyarakat Jawa Barat, Jawa Timur, Yogyakarta, Jawa Tengah, Banten, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, Lampung, Sumatera Utara, dan tentunya DKI Jakarta. Ini melengkapi perjalanan saya keliling nusantara selama satu tahun terakhir, ke ratusan kabupaten/kota di 22 provinsi, dari Aceh hingga Papua.

Dalam perjalanan itu, saya bertemu dengan berbagai komunitas dan lapisan masyarakat. Petani, nelayan, peternak, buruh (termasuk buruh outsourcing), guru (termasuk guru honorer), pedagang pasar dan pelaku UMKM, ibu-ibu rumah tangga, serta anak-anak muda (baik yang masih sekolah dan kuliah maupun mereka yang sedang mencari kerja).

Dari interaksi dengan kelompok-kelompok masyarakat itu, saya mendengar, mencatat, dan ikut merasakan apa yang menjadi kegundahan mereka. Satu hal yang mengusik perasaan saya, dan saya yakin juga perasaan Saudara-Saudara, seringkali, apa yang rakyat rasakan tidak selalu sejalan dengan apa yang media beritakan.

Saat ini, terasa sekali porsi pemberitaan tentang Pemilihan Presiden 2019 jauh lebih besar ketimbang pemberitaan tentang persoalan-persoalan aktual yang dihadapi rakyat. Fokus pemberitaan tentang Capres-Cawapres ini sangat menyita perhatian publik dari berbagai kalangan. Mulai dari obrolan di warung-warung kopi, pengajian, arisan, sampai dengan di kampus-kampus.

Bahkan, dalam jamuan-jamuan internasional tak jarang Duta Besar negara sahabat bertanya sambil berbisik: “Pak Agus, who is the strongest VP candidate for 2019? And, who will Democrat support for President?” – Siapa calon Wakil Presiden terkuat untuk Pilpres 2019? Dan siapa calon Presiden yang akan didukung oleh Partai Demokrat?”

Pilpres 2019 tentulah sangat penting, dan menentukan masa depan bangsa ini lima tahun mendatang. Tetapi yang harus kita ingat, kesuksesan penyelenggaraan Pilpres 2019 ini akan sangat ditentukan oleh stabilitas politik, sosial, keamanan, dan ekonomi saat ini.

Itulah mengapa, paling tidak sampai dengan hari ini Partai Demokrat belum menentukan dengan siapa akan bekerjasama, atau berkoalisi. Karena Partai Demokrat memahami, ada hal yang lebih mendesak dari sekedar lobi-lobi politik untuk bagi-bagi kekuasaan.

Pada saatnya, Partai Demokrat akan menentukan koalisi dengan kelompok yang memiliki kesamaan visi dan misi. Yang mengutamakan rasa aman, keadilan, dan hak hidup rakyat.

Untuk itulah, pada kesempatan ini saya mengajak para kader Partai Demokrat, rekan-rekan media, dan segenap masyarakat Indonesia untuk mendengar, apa yang menjadi persoalan mendesak bangsa ini.

Ini bukanlah kecaman bagi pemerintah. Kita tahu, tidaklah mudah untuk mengelola negara yang besar ini, dengan segala kompleksitas persoalannya. Ini otokritik bagi kita semua rakyat Indonesia.

Hadirin yang saya hormati,
Bagi saya, berada di tengah-tengah rakyat adalah kemewahan yang sesungguhnya, dimana “muka ketemu muka, hati ketemu hati, gagasan ketemu gagasan”. Berdialog dan mendengarkan keluhan mereka secara langsung, tidaklah tergantikan. Betapapun majunya teknologi informasi dan komunikasi yang kita miliki sekarang.

Hasil dari pertemuan-pertemuan itu saya tindaklanjuti dengan diskusi bersama para kepala daerah, wakil rakyat, akademisi, pelaku dunia usaha, juga para politisi senior, dan tokoh nasional.

Intinya, kita sepakat isu ekonomi harus menjadi prioritas bangsa saat ini. Jika kita peras isu ekonomi ini, maka ada dua persoalan utama, yaitu: daya beli dan lapangan kerja.

Pertama, daya beli. Meski angka-angka indikator ekonomi makro relatif baik, namun pada kenyataannya di lapangan, masyarakat merasakan hal yang berbeda.

Hampir di setiap tempat yang kami datangi, rakyat berteriak, “Pak, bagaimana ini? Harga-harga kebutuhan pokok naik! Barang-barang makin mahal.” Bahkan, ada satu perkataan seorang ibu di Jawa Tengah yang selalu terngiang di telinga saya, “Jangankan untuk sekolah anak, untuk hidup sehari-hari saja, susah.”

Di satu sisi, harga-harga kebutuhan naik secara signifikan. Di sisi lain, kemampuan dan kesempatan masyarakat makin terbatas untuk memperoleh penghasilan yang layak.

Sebagai contoh: di laut Pangandaran, para nelayanmenunjukkan kepada saya minimnya tangkapan mereka. Petani garam di Kabupaten Cirebon, mengeluhkan melimpahnya garam impor. Buruh, di berbagai tempat mengadukan upah minimum mereka yang sulit mengejar kenaikan harga barang. Para pekerja honorer – guru dan bidan – mengadukan, ketidakpastian masa depan mereka yang tidak kunjung diangkat menjadi PNS.

Sekarang, mari kita lihat gambar besarnya. Konsumsi rumah tangga menurun. Padahal, konsumsi rumah tangga merupakan, komponen utama dalam ekonomi kita, mewakili lebih dari setengah Produk Domestik Bruto (PDB) kita.

Ada yang berpendapat, bahwa penurunan konsumsi rumah tangga ini, akibat pergeseran pola pembelian dari ritel fisik menjadi online. Tapi faktanya, ritel online hanya mewakili satu hingga dua persen dari nilai total penjualan barang konsumsi. Angka ini tidak bisa menutupi turunnya pembelian ritel fisik.

Harus diakui, daya beli rakyat memang menurun. Utamanya, rakyat berpenghasilan rendah dan kurang mampu.

Indikator lain dari menurunnya daya beli adalah penjualan sepeda motor. Kita tahu, betapa akrabnya masyarakat dengan sepeda motor. Bahkan jutaan sepeda motor digunakan sebagai moda transportasi untuk mudik Lebaran.

Saya sempat berbincang dengan para sales sepeda motor. Mereka mengeluh angka penjualan turun drastis. Angka gagal kredit naik. Target penjualan dari bulan ke bulan makin sulit dicapai. Data penjualan Gaikindo (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia) menunjukkan, selama tiga tahun terakhir, penjualan sepeda motor turun dua juta unit. Dari 7,9 juta unit di tahun 2014 menjadi 5,9 juta unit di tahun 2017.

Selain itu, biaya hidup dan pengeluaran rumah tangga juga terus meningkat. Contohnya, kenaikan tarif listrik. Tarif listrik naik lebih dari 140 persen, antara bulan Desember 2016 hingga Juli 2017. Pencabutan subsidi listrik untuk golongan 900 Voltase Ampere, berdampak terhadap hampir 19 juta pelanggan rumah tangga. Ini tentu secara langsung berpengaruh terhadap daya beli rakyat.

Saudara-Saudara,
Kita mengapresiasi kebijakan pemerintah yang memberikan THR, serta gaji ke-13 bagi para PNS serta anggota TNI dan Polri. Baik mereka yang masih aktif maupun telah pensiun. Kita berharap, tambahan tersebut dapat membantu meningkatkan daya beli serta konsumsi rumah tangga.

Meski demikian, yang harus menjadi perhatian utama adalah daya beli saudara-saudara kita yang berada di bawah garis kemiskinan. Jumlahnya mencapai 28 juta orang. Juga mereka yang masih rentan atau rawan kemiskinan, yang jumlahnya mencapai hampir 70 juta orang.

Total jumlah masyarakat miskin dan rawan miskin ini setara dengan hampir 40 persen populasi Indonesia. They are the bottom 40. Guncangan ekonomi sedikit saja, akan mendorong mereka ke jurang kemiskinan yang lebih dalam. Jangan lupakan mereka!

Mereka, umumnya tidak memiliki pekerjaan tetap dan tidak bisa mengharapkan THR. Mereka perlu perhatian dan bantuan langsung dari pemerintah. Ini tidak bisa ditunda-tunda!

Saudara-saudara sekalian,

Isu kedua lapangan kerja.
Pekerjaan bukan hanya soal memperoleh pendapatan. Tetapi, juga harga diri dan penerimaan sosial. Itulah sebabnya, pengangguran dan lapangan kerja selalu menjadi persoalan sensitif.

Ketika saya bertemu dengan masyarakat, banyak di antaranya adalah anak-anak muda, generasi Milenial. Mereka yang belum bekerja, merasa cemas, apakah mereka bisa menemukan pekerjaan yang baik? Sedangkan mereka yang sudah bekerja merasa khawatir, apakah mereka bisa terus bekerja?

Secara kuantitas, lapangan kerja yang tercipta setiap tahunnya, belum bisa mengimbangi jumlah pencari kerja baru.

Dalam hal kualitas angkatan kerja, kita juga masih punya PR besar. Lebih dari 50 juta orang angkatan kerja kita berpendidikan sekolah dasar. Dengan fakta ini, rasanya tidak mudah bagi kita untuk bersaing dalam kompetisi global.

Saudara-Saudara,
Isu lain yang saya temui adalah kekhawatiran tentang Tenaga Kerja Asing (TKA). Kaum buruh dan pekerja yang saya temui di lapangan, mengkritisi Perpres No. 20 tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing, yang dirasakan kurang berpihak pada mereka.

Baru-baru ini, saya kembali dari Kendari Sulawesi Tenggara. Saya melihat sendiri, betapa banyak TKA yang bekerja di sana. Bukan hanya sebagai tenaga ahli atau dalam kapasitas manajerial saja, tetapi juga pada tingkatan buruh, supir, dan pekerja lapangan lainnya. Pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya mampu dilakukan oleh tenaga kerja kita.

Ini dikonfirmasi oleh hasil investigasi Lembaga Ombudsman tahun 2017, terkait isu TKA ilegal di berbagai provinsi. Ombudsman menemukan terjadinya diskriminasi perlakuan, hingga gaji yang tidak berimbang antara TKA dan tenaga kerja lokal untuk jenis pekerjaan yang sama. Bayangkan, dalam sebulan, supir TKA dapat 15 juta rupiah, sedangkan, supir tenaga kerja kita hanya dapat lima juta rupiah saja.

Saya tekankan, ini soal rasa keadilan. Kita wajib mendahulukan hak rakyat, memperoleh kesempatan kerja di negeri sendiri. Kita tidak anti asing, tapi kita tidak terima jika rakyat dikalahkan, dinomorduakan atau hanya jadi penonton di negeri sendiri.

Demikianlah, persoalan-persoalan ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat kita saat ini. Memang ada berbagai mahzab dalam memandang isu-isu ekonomi tersebut, namun saya yakin kita bisa menyepakati common interest, kepentingan bersama, sebagai landasan kita bekerjasama demi rakyat Indonesia.

Hadirin yang saya muliakan,
Persoalan keamanan dan ekonomi yang tadi kita bicarakan adalah muara dari persoalan bangsa yang lebih fundamental.

Persoalan fundamental itu saya bicarakan bulan lalu, pada acara peringatan Reformasi Nasional yang digelar oleh ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia).

Pada kesempatan itu, saya satu panggung dengan Mbak Puan Maharani, Mbak Yenny Wahid, dan Mas Ilham Habibie. Kami menyampaikan refleksi 20 tahun Reformasi, berdasarkan perspektif dan pengalaman masing-masing. Secara khusus, saya berbicara tentang keberhasilan dan tantangan Reformasi TNI/Polri.

Saya katakan, TNI telah memenuhi amanat Reformasi untuk meninggalkan politik praktis dan bisnis militer, serta memisahkan Polri dari ABRI ketika itu. TNI kembali fokus pada jati dirinya, sebagai Tentara Rakyat, Tentara Pejuang, Tentara Nasional, dan Tentara Profesional.

Saya juga katakan, keluarnya saya, AHY, dari institusi TNI yang amat saya cintai, adalah wujud komitmen dan konsistensi seorang Perwira terhadap semangat Reformasi TNI. Jika ingin berpolitik, keluar dari TNI. Jika ingin di TNI, jangan berpolitik. Kita berharap, ini juga berlaku bagi seluruh aparat Polri.

Sikap ini merupakan bagian dari etika berpolitik.

Meskipun usia relatif muda, sedapat mungkin saya juga ingin memberikan contoh yang baik dalam kehidupan berpolitik.

Etika berpolitik juga terkait dengan kebesaran jiwa dalam menyikapi hasil sebuah kompetisi. Sangat sering kita mendengar deklarasi “siap menang, siap kalah” sesaat sebelum dimulainya kontestasi politik, apakah itu Pilkada, atau Pemilu. Namun pada praktiknya, banyak yang sangat siap untuk menang, tapi sangat tidak siap untuk kalah. Secara kesatria, mengakui kekalahan yang kita alami dan menerima kemenangan lawan kita, juga merupakan bagian dari etika berpolitik.

Persoalan etika inilah yang paling fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini bukan semata-mata soal benar atau salah, tetapi juga, soal patut atau tidak patut, persoalan tentang baik atau buruk, serta hak dan kewajiban.

Sementara itu Saudara-Saudara, etika berbangsa dan bernegara, sangat ditentukan oleh karakter bangsa kita sendiri.

Kita sadari, sifat-sifat luhur bangsa Indonesia kian hari kian memudar. Saat ini, sepertinya mudah sekali kita saling menyalahkan satu sama lain. Semakin banyak yang mendahulukan ego masing-masing, merasa paling benar, ketimbang mengedepankan kebesaran hati dan keikhlasan.

Sulit rasanya, negara yang besar dan majemuk ini, bisa bersatu dan maju jika yang dikedepankan adalah egoisme dan sikap ingin menang sendiri.

Kita perlu meneladani para Bapak Bangsa dan generasi-generasi pendahulu yang berhasil mengatasi ego masing-masing, dengan karakter yang mengedepankan persatuan. Karakter inilah yang menghadirkan berbagai momentum penting, dan menentukan dalam sejarah kita. Mulai dari Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi Kemerdekaan 1945, sampai dengan Reformasi Nasional 1998. Karakter ini pula, yang seharusnya menjadi hulu dari etika politik kebangsaan kita.

Dengan demikian, pembangunan karakter bangsa untuk membentuk manusia Indonesia yang beretika dalam kehidupan bermasyarakat, menjadi sangat mendesak disamping pembangunan fisik.

Bangunlah jiwanya! bangunlah badannya!
“Bangunlah jiwanya bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya”

Sebenarnya, pada awal pemerintahan Presiden Joko Widodo, sebagian besar rakyat menaruh harapan kepada program pembangunan manusia Indonesia. Ketika pemerintah saat ini berhasil membangun ribuan kilometer jalan, ratusan jembatan, dan proyek infrastruktur lainnya, lantas, kita patut bertanya: “Apa kabar, Revolusi Mental?”

Kita ingat, Revolusi Mental adalah konsep pembangunan manusia Indonesia yang gencar dijanjikan di saat kampanye Pilpres 2014. Dalam perjalanannya, nampaknya kurang mendapatkan perhatian kita semua. Kita larut dalam hiruk pikuk pembangunan infrastruktur.

Padahal, konsep ini sangat vital sebagai upaya mengembalikan karakter bangsa sesuai bentuk aslinya, yaitu karakter yang santun, berbudi pekerti, dan bergotong royong. Karakter yang tentunya menjadi kekuatan dalam membangun Indonesia yang kokoh dalam persatuan, dan sejahtera dalam kemajuan.

Menurut saya, pembangunan karakter bangsa ini yang harus terus menerus dilakukan dan disesuaikan dengan perkembangan zaman. It is a never-ending journey. Karena perubahan, perbaikan, dan pembaharuan adalah keniscayaan yang abadi.

Hadirin yang saya muliakan,
Terkait dengan karakter bangsa tadi, saya berpendapat, Ramadhan adalah sarana latihan yang tepat untuk membangun karakter diri dan bangsa ini. Kita kembali diingatkan tentang ilmu dan rumusan kehidupan bahwa segala sesuatunya selalu ada batasan dan kepatutannya.

Jika tangan ini bagaikan kayu,kemudian diberi beban 10 Kg, kayu ini tetap kokoh. Jika bebannya ditambah menjadi 20 Kg, kayu ini tetap dapat menopang beban itu. Ketika beban ditambah lagi menjadi 30 Kg, mulai terdengar bunyi “Krek!” Lalu, ketika beban itu bertambah menjadi 40 Kg, seketika kayu itu patah.

Itulah analogi rumusan tentang batasan. Baik batas atas, maupun batas bawah.

Di bulan suci ini, kita melatih diri untuk makan di waktu Sahur, ketika perut belum merasa lapar. Dan berhenti makan ketika waktu Subuh telah tiba. Ketika kita merasa lapar dan haus, kita tidak boleh makan dan minum sebelum adzan Maghrib tiba. Intinya, makan dan minum ada batasnya. Begitu pula dengan lapar dan haus, ada batasnya.

Jikalau kita tidak mengetahui dan merasakan sendiri, bahwa lapar ada batasnya; kita tidak akan peduli dan memahami mengapa ada orang mencuri di negeri ini hanya untuk sekadar mengisi perutnya dan juga perut anak-istrinya yang kosong. Ingat, orang-orang yang lapar sanggup, dan akan melakukan apapun untuk mempertahankan hidupnya dan orang-orang yang dicintainya. Tidak peduli benar atau salah, baik atau buruk.

Pemahaman atas batasan-batasan ini, akan mendorong kita untuk peduli dan beramal kepada sesama tanpa melihat perbedaan suku, agama, ras, dan antar golongan. Inilah yang kita wujudkan dalam bentuk zakat, infaq, dan sedekah.

Sebagai kelompok masyarakat mayoritas di negeri ini, umat Islam memiliki tanggung jawab moral terbesar untuk mengatasi persoalan-persoalan mendasar di masyarakat. Karena kelaparan, kebodohan, serta kemiskinan dan ketimpangan, bukan hanya diderita umat Islam saja, tetapi juga umat-umat yang lain di negeri ini.

Tanggung jawab moral ini yang mengantarkan kita pada hakikat Islam sebagai “Rahmatan Lil Alamin” – rahmat bagi semesta alam. Hal ini, merupakan wujud kecintaan kita kepada Rasulullah Muhammad SAW dan ketakwaan kita kepada Allah SWT.

Selain itu, kepedulian dan semangat berbagi ini, merupakan wujud pengamalan sila ke-5 dari Pancasila. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini cerminan bahwa pengamalan Pancasila sejatinya, harus tumbuh dari bawah ke atas, tidak hanya didikte dari atas ke bawah.

Saudara-saudaraku yang saya cintai dan muliakan,
Jika makan dan minum ada batasnya, lapar dan haus ada batasnya, hawa nafsu ada batasnya, mengapa kemiskinan di negeri ini tidak ada batasnya? Egoisme tidak ada batasnya? Dan bahkan, seolah-olah kekuasaan tidak ada batasnya?

Pastilah semua ada batasnya. Jika melebihi batas, maka akan patah seperti kayu tadi.

Inilah mengapa, sepuluh tahun yang lalu, dalam situasi krisis ekonomi global 2008, di era kepemimpinan Presiden SBY yang didukung penuh oleh Partai Demokrat, pemerintah memberikan Bantuan Langsung Sementara kepada saudara-saudara kita yang berkategori miskin. Besarannya adalah 300 ribu rupiah per bulan, per keluarga.

Angka 300 ribu rupiah ini, merupakan batas bawah untuk memenuhi kebutuhan dasar sebuah keluarga, berdasarkan hasil penelitian Badan Pusat Statistik (BPS). Jadi, jika ada pihak-pihak yang bersuara bahwa memberikan Bantuan Langsung Sementara kepada rakyat miskin ini sebagai proses yang tidak mendidik, berarti mereka tidak memahami atau bahkan tidak peduli dengan rumusan kehidupan tentang batasan tadi.

Bagaimana kita mau mendidik masyarakat ketika perutnya lapar? Ketika kaum ibu menangis karena tidak mampu membeli susu untuk anaknya.

Oleh karena itu, dalam sisa waktu Ramadhan ini, saya mengajak kepada diri sendiri dan kita semua, untuk terus mempelajari dan memahami rumusan kehidupan tentang batasan-batasan tadi. Pemahaman ini yang akan mencerahkan kita, tentang etika, koridor baik atau buruk, patut atau tidak patut, serta hak dan kewajiban. Pemahaman ini pula, yang akan membangun kesadaran beretika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Hadirin sekalian,
Dalam konteks yang lain, kebebasan individu juga ada batasnya. Kebebasan bukan berarti kebablasan. Kebebasan individu harus diletakkan dalam kerangka besar kepentingan bangsa dan negara.

Demikian pula dengan kekuasaan, dalam konteks tata negara, kekuasaan tidak tak terbatas. Tidak boleh bersifat absolut. Kekuasaan ada batasnya. Jangan menghalalkan segala cara. Negara dan pemerintah tidak boleh sewenang-wenang menggunakan kekuasaannya untuk merampas kebebasan individu.

Jika para pemimpin menghormati dan menyayangi rakyatnya, maka rakyat juga akan menghormati dan menghargai para pemimpinnya. Kondisi seperti ini, harus sama-sama kita wujudkan demi kokohnya persatuan dan kerukunan bangsa serta, demi cita-cita besar kita bersama.

Persatuan dan kerukunan merupakan fondasi dari stabilitas politik, sosial, dan keamanan nasional. Ini memberi ruang dan kesempatan kepada pemerintah dan seluruh elemen bangsa untuk mengatasi persoalan ekonomi, maupun berbagai persoalan krusial rakyat lainnya.

Terjaganya stabilitas politik, sosial, dan keamanan inilah, yang menjadi kunci keberhasilan pemerintahan Presiden SBY yang didukung penuh oleh Partai Demokrat dalam menghadirkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan merata selama 10 tahun kepemimpinannya.

Ingat, pertumbuhan ekonomi tidak bisa berdiri sendiri dan tidak bisa berjalan dengan sendirinya. Persoalan ekonomi selalu berkait dengan stabilitas politik, sosial, dan keamanan. Bayangkan, apakah mungkin roda ekonomi akan bergerak ketika pembeli takut pergi ke pusat perbelanjaan akibat ancaman bom di tempat keramaian? Ketika penjual takut ke pasar untuk berdagang akibat maraknya penjarahan karena krisis sosial?

Saudara-saudara,
Karena itu, Partai Demokrat tidak memberikan toleransi kepada pihak manapun yang ingin memecah belah persatuan dan melukai kerukunan bangsa, karena hal ini akan mengganggu stabilitas politik, sosial, dan keamanan. Sekali lagi, kita tidak memberikan toleransi kepada pihakmanapun yang ingin memecah belah persatuan dan melukai kerukunan bangsa dengan isu atau narasi apapun.

Inilah dasar pemikiran dan ikhtiar Partai Demokrat untuk menjadi bagian dari solusi atas keluhan dan permasalahan rakyat saat ini. Sudah sepatutnya, hajat hidup rakyat sendiri menjadi nyawa dari perjuangan kita dalam berpolitik.

Lalu, apa yang dapat kita lakukan?

Mari, kita manfaatkan momentum Ramadhan ini untuk mengingat kembali hakikat hidup manusia, “Khoirunnas Anfa ‘Uhum Linnas” yaitu sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat untuk orang lain. Tidak sepatutnya, kita hanya duduk membahas permasalahan tapi tidak memikirkan jalan keluarnya. Sekali lagi jangan diam! Do something!

Pertama, solusi jangka pendek.

Untuk membantu meningkatkan daya beli masyarakat, dua hari lalu, kita luncurkan program: “Gerakan Nasional Pasar Murah Partai Demokrat”. Pasar Murah ini, Insya Allah akan kita gelar pada tanggal 14 setiap bulannya di seluruh provinsi.

Tujuan utama dari Pasar Murah ini adalah untuk mendorong tumbuhnya semangat berbagi, dari kelompok masyarakat yang mampu agar ikut membantu masyarakat yang tidak mampu. Paling tidak, ikhtiar ini dapat meringankan sebagian rakyat kita dari tekanan ekonomi yang mereka alami sehari-hari.

Kemudian, berkaitan dengan isu-isu kritis di bidang politik, sosial, dan keamanan; kami berpendapat, perlunya diadakan dialog atau “Rembug Nasional”, lintas partai, lintas identitas, dan lintas generasi, untuk memikirkan solusi yang tepat dan terbaik untuk rakyat.

Kedua, solusi jangka panjang.

Kita perlu membangun karakter bangsa yang mengakar pada nilai-nilai Ketuhanan dan jati diri bangsa yang luhur. Secara bersamaan, kita bangun generasi bangsa yang memiliki kapasitas intelektual dan kompetensi yang unggul. Keduanya merupakan kunci dalam memenangkan Indonesia pada kompetisi global Abad 21. Dengan upaya ini, Insya Allah, Indonesia akan mencapai sebuah peradaban yang tinggi dan mulia, dimana seluruh rakyatnya bisa menikmati kehidupan yang aman, damai, adil, maju, dan sejahtera.

Kita sadar, ini bukan pekerjaan semalam. Kita tidak tahu apakah kita masih hidup atau tidak untuk menyaksikan hasilnya. Tetapi, jika kita tidak memulainya, mustahil kita berharap hasil. Hasil tidak pernah mengkhianati usaha.

Akhirnya,

Mari kita bersatu bergandengan tangan menjadi bagian dari solusi, mengatasi berbagai persoalan yang tengah dihadapi oleh bangsa ini. Mari kita dorong pemerintah untuk terus mendengarkan suara rakyat, serta fokus dalam mengambil langkah-langkah kepemimpinan yang efektif, demi membawa perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik.

“Yang sudah baik, lanjutkan! Yang belum baik, perbaiki!”
Dan yang lebih penting lagi,
“Negara adil, rakyat sejahtera!”

Terimakasih.
Tuhan bersama kita!

Wassalamualaikum WR. WB