Lini media sosial penuh sesak dengan suara-suara keprihatinan terkait perubahan aturan Jaminan Hari Tua (JHT). Itulah alasan penulis datang ke sebuah pabrik besar di kawasan Sidoarjo, Jawa Timur (19/2/2022). Suara keprihatinan di jagat maya itu, nyata adanya di lapangan.
Para buruh pabrik secara terang-terangan menyampaikan keresahan mereka akibat kebijakan baru pemerintah. Dalam aturan baru itu, pemerintah menyatakan bahwa skema perubahan pencairan JHT menjadi usia 56 tahun. Hal ini termaktub dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Program Jaminan Hari Tua.
Kita tentu menyesalkan kebijakan yang terburu-buru dan kurang berpihak kepada para pekerja ini. Kegundahan ini dapat dipahami, setelah sebelumnya pemerintah juga kurang mengindahkan suara dan aspirasi masyarakat terkait UU Cipta Kerja Tahun 2020 lalu. Sebuah undang-undang yang di kemudian hari menuai gugatan karena banyak terdapat cacat hukum.
Merespons aspirasi dan suara keresahan para buruh itu, saya, dalam kapasitas selaku Ketua Umum Partai Demokrat, telah memberi instruksi kepada Fraksi Partai Demokrat (FPD) di Senayan. Saya perintahkan agar FPD DPR RI menolak dengan tegas skema perubahan pencairan JHT menjadi usia 56 tahun.
Sikap politik ini adalah wujud keberpihakan dan advokasi kita kepada nasib kaum buruh dan pekerja. Sikap ini juga merupakan respons kritis atas realitas dunia kerja di Tanah Air. Saat ini, kita belum mampu menghadirkan jaminan keamanan dan kelangsungan pekerjaan (job security) secara mapan bagi kaum buruh.
Terlebih lagi dengan adanya aturan baru dalam UU Cipta Kerja yang memuat kebijakan outsourcing dan skema Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Karena kebijakan ini, banyak pekerja yang berpotensi menghadapi kondisi ketidakpastian, yang sering berujung pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Dalam kondisi transisi itu, para pekerja akan membutuhkan supporting system untuk bertahan, sembari mencari solusi terbaik untuk kelangsungan karir dan hajat hidupnya. Karena itu, JHT merupakan bagian dari instrumen perlindungan bagi pekerja agar bisa menghadapi masa transisi maupun skema pensiun dini.
Sehingga perlu kita tegaskan, JHT adalah hak pekerja. Menjadi tidak adil dan tidak logis jika mereka yang sudah bekerja dengan segala dedikasi dan usahanya, namun harus menunggu dana pensiunnya turun hingga menunggu usia 56 tahun.
Untuk itu, upaya mencermati kembali kebijakan yang akan berpengaruh kepada 140,15 juta orang angkatan kerja nasional ini mutlak dilakukan.
Dalam konteks ini, Kementerian Tenaga Kerja perlu melibatkan partisipasi kaum buruh dan pekerja dalam menentukan kebijakan publik yang terkait langsung dengan nasib mereka. Selain itu, pandangan pemerintah yang mendasarkan argumennya pada upaya pengelolaan JHT untuk menghadirkan perlindungan optimal, pada pekerja saat usia senja atau sudah tidak produktif, harus dikomunikasikan secara proporsional.
Kemudian, pengelolaan dana JHT yang mencapai sekitar Rp 372,5 triliun itu, juga harus dikelola dengan manajemen transparan, akuntabel, dan profesional, serta benar-benar diorientasikan pada penguatan daya tahan dan daya saing kaum buruh dan pekerja nasional.
Dengan demikian, jangan biarkan proses kebijakan publik justru dilakukan secara sembunyi-sembunyi hingga akhirnya terseret ke dalam ruang gelap kekuasaan. Jika proses kebijakan publik mengkhianati prinsip-prinsip dasar demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang adil dan transparan (good governance), maka hal itu akan memproduksi rasa ketidakadilan. Kita ingat, ketidakadilan adalah induk dari segala macam persoalan.
Pembangunan Berkeadilan
Semangat dan komitmen untuk menghadirkan tata kelola kebijakan publik yang transparan, akuntabel, dan partisipatif itu, sesuai dengan wejangan Rois Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftachul Ahyar. Wejangan itu diberikan saat saya bersilaturahmi ke kediaman beliau di Tambak Sari, Surabaya, Jawa Timur (20/2/2022).
Pak Kiai berpesan agar setiap ikhtiar perjuangan politik harus benar-benar diorientasikan pada kemaslahatan umat. Suara lantang kaum buruh dan pekerja harus menjadi wake-up call bagi kita semua, bahwa orientasi pembangunan ekonomi ke depan harus tetap dilandaskan pada prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (social justice).
Karena itu, setiap regulasi dan aturan ketenagakerjaan harus betul-betul mengakomodasi aspirasi kaum pekerja nasional, dengan tetap mengutamakan komunikasi ‘dialog Tripartit’ secara seimbang antara pengusaha, pekerja, dan pemerintah.
Pemerintah harus hadir sebagai fasilitator yang adil, untuk mengelola harapan dan menyeimbangkan kepentingan antara kalangan pengusaha dan kaum pekerja. Yakinlah, semua anak bangsa termasuk kaum buruh dan pekerja nasional kita, tentu juga memiliki visi mulia untuk senantiasa ikut berkontribusi pada pembangunan ekonomi bangsa.
Namun di sisi lain, para pengambil kebijakan juga harus memahami bahwa agenda pembangunan ekonomi yang kita tuju bukanlah ekonomi yang berwatak kapitalistik dan neo-liberalistik, yang berorientasi pada akumulasi kekuatan modal dan mengeksploitasi kaum buruh semata. Bukan pula kita berorientasi pada ekonomi sosialis; mengedepankan kepentingan proletar dan hingga menyulitkan kepentingan dunia usaha.
Tetapi, kita harus memahami bahwa desain pembangunan ekonomi Indonesia harus didasarkan pada konsep Ekonomi Pancasila, yang berkarakter ‘Ekonomi Pasar Berkeadilan’.
Karena itu, orientasi pertumbuhan ekonomi juga harus diseimbangkan dengan menghadirkan rasa keadilan, kesejahteraan, kelestarian lingkungan, dan juga rasa aman bagi kaum buruh dan pekerja sebagai wujud pengejawantahan prinsip keadilan sosial (sustainable growth with equity).
Ini adalah amanat konstitusi. Untuk itu, sekali lagi, dengarkan suara kaum buruh dan pekerja kita. Mereka juga bagian dari anak bangsa, yang ingin berkontribusi pada agenda pembangunan ekonomi negara.
Leave A Comment